Pagi yang Dingin di Emperan Toko
Karya Joy H Boangmanalu
Pagi itu di emperan toko sembako milik pak Abdul yang terkenal dengan
sifat sombong dan kikirnya, geram dan marah melihat ada 3 anak muda yang berpenampilan
urakan dengan rambut bergaya Mohawk dan pakaian dengan banyak tempelan
logo-logo band pemberontak. Sudah dapat ditebak mereka itu adalah Arie, Sukri
dan Abdi. Mereka adalah sekelompok anak PUNK yang menamakan dirinya sebagai
kumpulan terbuang.Mereka begitu bukan karena kemauan mereka, tetapi kondisi lah
yang menjadikan mereka brutal dan urakan. Mereka beranggapan bahwa sistem
kepemerintahan lah yang menjadikan mereka dan masih banyak lagi yang nasibnya
kurang lebih seperti mereka.
Walaupun nasib baik tidak berpihak kepada mereka, tetapi mereka
bertekad untuk bangkit dari keterpurukan yang ada. Kondisi sosial dan serba
kekurangan tidak pernah dijadikan menjadi penghalang.
Kebanyakan orang menganggap PUNK adalah sampah masyarakat yang tidak
berguna. Mereka menganggap bahwa PUNK itu adalah kumpulan anak-anak brandal dan
brutal. Mereka tidak mengerti apa yang menyebabkan mereka seperti itu. Yang
mereka tau hanyalah mencela dan mencaci.
Dengan tekad bulat di dada mereka yakin pasti bisa bangkit. Tak peduli
bagaimana anggapan orang-orang kepada mereka. AKU HIDUP DI ALAMKU merupakan
kata penggugah semangat mereka. Bangkit dari kumpulan terbuang Oi Oi Oi. Selagi
mereka hidup di dunia mereka akan terus berjuang semampu mereka.
Mereka yakin bahwa mimpi mereka menjadi band PUNK papan atas akan
segera terwujud dengan kerja keras dan berdoa kepada sang Pencipta.
“Bangun woi, sana pergi
jauh-jauh. Pagi-pagi sudah bikin emosi”, kata pak Abdul dengan tampang bengis
dan sombong.
Dengan mata sipit 5watt Arie, Sukri dan Abdi terpaksa pergi dari
emperan toko pak Abdul yang terkenal dengan kesombongan dan sifat kikirnya.
“Makan apa kita hari ini rie ?”, tanya Sukri ke Arie ketua genk mereka
sambil mengusap mata dan menyeka iler yang masih membekas di pipinya.
“Wah, makan aja di pikiranmu. Itu lihat muka sama rambutmu yang lecek”,
jawab Arie sambil membakar puntungan rokok semalam yang sengaja di sisain untuk
menghangatkan badannya yang kedinginan diterpa hawa pagi itu.
Dalam benak Arie selalu terngiang kata-kata terakhir mendiang ibunya. “ikkon boi do ho
hasea haduan da amang asa dang lea roha ni akka jolma i mamereng ho, asa adong
siboan goar nami natua-tua mon.”1 ( kamu harus bisa sukses ya anakku supaya
orang-orang nggak anggap remeh kamu, supaya kamu bisa membawa nama baik kami
orangtuamu. )
“Kita kan anak punk rie mandi nggak mandi juga nggak apa-apa yang
penting perut buncit. Haha”, tangkis Sukri membuyarkan lamunan Arie.
“Anak punk juga harus mandi kali kri. Siapa tau ntar ada cewek SMA atau
kuliahan yang naksir kita”, jawab Abdi sok cool.
“Alah siapa yang mau sama kamu di. Udah ceking, mata merah, urakan
lagi. Siapa yang mau coba”, ledek Sukri.
“Wah rie ini anak udah mulai kurang ajar sama aku. Gimana rie, kita
hajar aja ni anak ?”, tanya Abdi ke Arie.
“Udahlah, jangan brantem terus. Mandi sana job manggung udah nunggu”,
kata Arie
“Alah gayamu rie, ngamen aja kok dibilang manggung. Udah kri kamu mandi
duluan”, suruh Abdi ke Sukri.
“Siap bos tapi jangan ngintip ya. Bukan muhrim di. Haha”, kata Sukri.
“Wah kurang kerjaan banget aku ngintipin kamu, pentungan yang kaya lidi
aja di intipin. Apa kata dunia ?”, kata Abdi.
“CUEKKK AJAAA”, jawab Arie dan Sukri serempak.
Alat-alat untuk ngamen sudah di persiapkan, Arie, Sukri dan Abdi segera
bergegas untuk nongkrong di lampu merah sambil menunggu angkot-angkot yang
berhenti. Ngamen adalah pekerjaan sehari Arie, Sukri dan Abdi. Bagi mereka
cukup makan untuk 1 hari saja sudah cukup. Mereka heran melihat para koruptor
di Negara ini. Sudah hidupnya serba lebih kok masih pengen lebih lagi. Dan itu
mereka jadikan sebagai inspirasi untuk mengarang lagu untuk diperdengarkan ke
para penumpang angkot pas mereka ngamen.
*Daripadaku
diam di rumah
Bikin susah ibuku
Mendingan ngamen persetan malu
Yang penting halal bagiku*
Sebuah lagu dari band Punk Bandung Superiots yang merupakan band
panutan mereka selesai sudah dilantunkan.
“Misi mas, misi mbak”, kata Arie sambil menyodorkan sebuah kantong
kresek.
“Makasi mas, makasi mbak”, lanjut Abdi sembari senyum.
“Dapat berapa hari rie ?” tanya
Abdi sambil meletakkan ukulelenya.
“Lumayanlah buat makan kita hari ini ditambah rokok 1 bungkus”, jawab
Arie sambil menghitung duit hasil ngamen mereka.
“Eh eh eh ada cewek tuh, godain yuk”, teriak Sukri yang terkenal genit.
“Hai cantik godain kita dong”, kata Sukri dengan gaya sok cool.
“Apaan sih*Plak*”, sebuah tamparan hangat mendarat di pipi Sukri.
“Haha syukurin. Kena batunya kan sekarang, makanya jadi orang itu
jangan sok kegenitan”, ledek Abdi.
“Tapi ngomong-ngomong cewek tadi itu cantik juga ya. Kayaknya aku
pernah lihat dia deh rie, tapi di mana ya ?”, lanjut Abdi.
“Dia itu anak pak abdul yang somse itu di, kenapa ? Naksir ya ?”, ledek
Arie.
“Kita itu orang nggak punya yang serba kurang di, nggak mungkin dia mau
sama kamu”, lanjut Arie.
Dengan muka merah padam Abdi menjawab, “Ah nggak kok rie, aku nggak
narsir dia cuma suka aja lihat muka mungil dia itu.”
“Sama aja kali di”, teriak Arie dan Sukri serempak.
“Oh ia rie gimana lagu kita kemarin ? Sudah rampung belum ?”, tanya
Sukri mengalihkan pembicaraan.
“Ya gitulah kri, lagu sih aman tapi keuangan kita untuk rekam demo lagu
belum ada. Makan aja kita susah”, jawab Arie dengan muka lesu.
“Sabar rie, siapa tau kita punya rezeki lebih ntar. Rezeki orang siapa
yang tau. Kita harus merintis dari bawah rie”, kata Sukri menenangkan.
“Ia rie, kata orang kesuksesan yang diraih dengan susah payah akan
terasa lebih nikmat dibanding dengan kesuksesan yang nebeng orangtua atau cuma
ngandelin kekayaan dan tampang aja kaya artis-artis yang di tv sekarang”,
lanjut Abdi.
“Tumben otak kamu beres di, biasanya kan taunya cuma ada rokok dan
rokok”, ledek Sukri.
“Mending otak aku daripada otak kamu yang isinya cuma pikiran ngeres
aja”, balas Abdi.
Dalam benak Arie mengiyakan kata-kata dari kedua temennya, rezeki orang
siapa yang tau. Semoga aja rezeki baik mau berpihak kepada mereka.
“Woi cabut –cabut, kita cari makan dulu buat makan ntar malem”,teriak
Arie membuyarkan lamunan kedua temannya.
Nantikan cerita selanjutnya