Sayangnya, sejumlah tumbuhan dan satwa liar yang mestinya dapat berperan dalam menjaga mata rantai ekosistem lingkungan, kini telah punah atau menjadi semakin langka. Kepunahan dan kelangkaan ini, disebabkan karena sejumlah tumbuhan dan satwa mengalami eksploitasi yang berlebihan dan kehilangan habitatnya.
Untuk menyelamatkan ancaman kepunahan,
beberapa ketentuan nasional dan internasional telah mengatur status
tumbuhan dan satwa. Diantaranya: (1) PP. No. 7 Tahun 1999, yang
menetapkan dan menggolongkan tumbuhan dan satwa yang dilindungi maupun
tidak dilindungi; (2) IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources), mengeluarkan daftar yang membahas tentang status berbagai jenis tumbuhan dan satwa; (3) CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), memuat tiga lampiran yang menggolongkan keadaan tumbuhan dan satwa liar.
Sebagai contoh, beberapa reptil seperti Ular Sanca (Python reticulatus); Biawak Air Tawar (Varanus salvator); dan Kura-kura Forsteni (Indotestudo forstenii), statusnya bisa saja berbeda-beda. Menurut
PP. No. 7 Tahun 1999, semua jenis satwa ini digolongkan sebagai satwa
yang tidak dilindungi. Tetapi menurut IUCN, Ular Sanca (Python reticulatus) dimasukan ke dalam status Not Evaluated – NE (tidak dievaluasi); Biawak Air Tawar (Varanus salvator) dimasukan ke dalam status Least Concern – LC (beresiko rendah); Kura-kura Forsteni (Indotestudo forstenii) dimasukan ke dalam statusendangered – EN (genting). Sedangkan menurut CITES, semua jenis satwa ini dimasukan ke dalam Appendiks II, yang artinya dapat diperdagangkan.
Pada aspek perdagangan, Tahun 2010
Kementerian Kehutanan menetapkan jumlah kuota pengambilan dari alam
untuk reptil di Provinsi Sulawesi Tengah, yaitu sebanyak 5.000 ekor Ular
Sanca (Python reticulatus), 10.000 ekor Biawak Air Tawar (Varanus salvator), dan 150 ekor Kura-kura Forsteni (Indotestudo forstenii).
Jika aspek pemanfaatan seperti ini tidak diimbangi dengan upaya
konservasi, dikhawatirkan jenis satwa yang unik ini akan punah. Agar
spesies satwa ini dapat diselamatkan, maka reptil-reptil ini juga perlu
dikelola, dipelihara dan dikembangbiakan.
Di bawah ini merupakan gambaran singkat mengenai Ular Sanca (Python reticulatus); Biawak Air Tawar (Varanus salvator); dan Kura-kura Forsteni (Indotestudo forstenii).
Ular Sanca
Ular Sanca (Python reticulatus) adalah jenis ular yang tidak mangandung bisa. Panjang Ular Sanca (Python reticulatus) terbesar bisa mencapai sepuluh meter lebih. Ular Sanca (Python reticulatus)
memiliki warna kulit yang indah menyerupai lingkaran-lingkaran besar
dengan kombinasi warna hitam, coklat, kuning dan putih di sepanjang sisi
punggungya. Karena Ular Sanca (Python reticulatus)
memiliki kulit yang indah dan bermutu baik inilah, banyak orang yang
memburu binatang ini untuk diambil kulitnya. Padahal keberadaan
Ular Sanca (Python reticulatus) di alam perlu diselamatkan untuk menjaga mata rantai ekosistem lingkungan. Keberadaan Ular Sanca (Python reticulatus) dapat membantu petani, karena ular ini diantaranya memangsa hama tikus.
Biawak Air Tawar
Biawak Air Tawar (Varanus salvator)
adalah jenis reptil yang memiliki tubuh berotot dan ekor yang panjang.
Berat biawak dewasa bisa mencapai dua puluh lima kilo gram, sedangkan
panjangnya bisa mencapai lebih dari tiga meter lebih. Satwa jenis ini
berkembang biak dengan bertelur. Biawak betina menyimpan telur-telurnya
di pasir atau lumpur di tepian sungai yang bercampur dengan serasah yang
kering. Telur akan menetas setelah dihangatkan oleh panas sinar
matahari dan proses pembusukan serasah. Biawak merupakan satwa yang
pandai memanjat pohon, dan konon sebelum mengawini betinanya, si jantan
biasanya akan berkelahi lebih dulu untuk memperlihatkan keperkasaannya.
Untuk mempertahankan hidupnya, biawak akan memakan beberapa mangsanya
seperti serangga, yuyu, kodok, ikan, kadal dan tikus. Sama halnya dengan
Ular Sanca, keberadaan biawak dalam mata rantai ekosistem dapat
membantu petani, karena memangsa beberapa hama sawah di atas.
Kura-kura Forsteni
Kura-kura Forsteni (Indotestudo forstenii)
merupakan kura-kura yang hidup di darat. Penyebaran satwa ini cukup
luas mulai dari Perbukitan Lembah Palu sampai sekitar Gorontalo. Menurut
Wikipedia, pada mulanya para pakar mengira satwa ini merupakan
kura-kura introduksi, disebabkan rupanya yang identik dengan kerabatnya
dari India, Indotestudo travancorica. Namun, mengingat
sebarannya yang cukup luas di Sulawesi, studi berikutnya membuktikan
bahwa kura-kura ini merupakan jenis yang tersendiri. Meski demikian,
dari segi kelestarian jenis, daerah sebaran seluas itu masih terhitung
sempit. Habitat satwa ini adalah hutan musim dan pamah campuran.
Habitatnya di perbukitan Lembah Palu dicirikan oleh adanya dominasi
tumbuhan Centong Duri (Opuntia nigricans, Euphorbiaceae).
Ditambah dengan keadaan populasinya yang tak seberapa, Kura-kura
Forsteni mudah terancam punah. Terutama oleh ancaman eksploitasi yang
berlebihan dan kehilangan habitat.
No comments:
Post a Comment
Budayakan Budaya Sopan
No SARA
Peace
Hijau Alam Kita