Thursday, 18 October 2012

Climate Rescue Station : Stasiun penyelamat iklim global



Sebuah bola dunia dengan diameter 12 m telah berdiri di hadapan saya. Lengkap dengan peta benua di seluruh dunia, ditembak dengan cahaya lampu dari dalam, membuat panggung ini terlihat temaram namun megah. Sebelumnya saya tidak pernah membayangkan bagaimana sebuah panggung berbentuk bola dunia sebesar itu bisa berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain. Dan pada akhirnya disini, Taman Lumbini, tepat berdiri di hadapan Candi Borobudur, kebanggan dunia, Climate Rescue Station telah siap digunakan sebagai tempat aktivitas rangkaian kampanye Energi Bersih untuk Borobudur.
Climate Rescue Station adalah bola dunia dengan struktur empat lantai, yang digunakan sebagai musium untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang solusi energi terbarukan dan memerangi perubahan iklim. CRS telah digunakan di berbagai negara sebagai platform untuk mengatakan kepada dunia bahwa setiap orang bisa berkontribusi apa saja untuk mencegah perubahan iklim—tetapi hanya jika pemerintah mengembangkan energi terbarukan.
Saya ingin berbagi cerita sedikit mengenai sejarah stasiun monumental ini. Pada tahun 2008, Climate Rescue Station (CRS) mulai muncul ke publik di sebuah kawasan yang dikenal sebagai jantung dari tambang batubara di Eropa "Black Triangle". Sebuah wilayah besar yang tersebar di seluruh Jerman, Polandia, dan Republik Ceko.

15 November 2008 - Polandia, Demonstrasi di Tambang Batubara Jozwin IIB di Konin. 400 orang yang tinggal di sekitar tambang cor besar terbuka dekat Konin, bergabung dengan Greenpeace dan kelompok lingkungan lainnya hari ini untuk merebut kembali tanah yang diduduki oleh tambang, terbesar kedua di Polandia, yang mengancam rumah dan mata pencaharian mereka.
© Greenpeace / Nick Cobbing


CRS bertengger di wilayah tambang besar yang membentang hampir ke seluruh cakrawala, di atas tanah petani lokal yang tidak ingin ladangnya, hilang begitu saja akibat pengerukan batubara. Padahal hanya dengan bertani mereka dapat meneruskan kehidupan, dan menurunkan ilmu bertani mereka kepada generasi selanjutnya.

Pertama kali diluncurkan di Polandia pada tahun 2008, di salah satu daerah yang dibuka untuk pertambangan di Eropa dan mengekspos bagaimana batubara menghancurkan mata pencaharian dan kesehatan masyarakat sekitar.
CRS telah melakukan perjalanan dari negara satu ke negara lain sebagai alat kampanye Greenpeace untuk menarik perhatian publik terhadap isu-isu penting di sekitar perubahan iklim.  Sumber energi listrik CRS berasal dari tenaga surya dan angin. Saat ini CRS berada di Indonesia untuk menunjukkan betapa mudahnya penggunaan energi terbarukan, dan cepatnya sistem energi terbarukan dapat diterapkan.
Hari itu saya masih melihat beberapa orang sukarelawan yang berdedikasi tinggi sedang membersihkan CRS, serta memasang foto-foto untuk kegiatan pameran setiap harinya. Tak ubahnya seperti sebuah panggung, CRS mampu menghadirkan berbagai atraksi dan kegiatan yang menarik bagi publik. Selain pameran foto yang bertemakan tentang dampak perubahan iklim dan energi  terbarukan, disini juga telah berlangsung sesi kelas fotografi dan membatik. Puluhan siswa sekolah SMP dan SMA  dari sekitar Borobudur datang untuk mengikuti sesi kelas tersebut. Antusiasme mereka terhadap kegiatan ini cukup besar, karena mereka tak pernah membayangkan bagaimana tenaga matahari dan angina bisa digunakan sebagai sumber listrik. Di CRS inilah mereka dapat melihat secara nyata bahwa tenaga alam tadi dapat dimanfaatkan dan diterapkan dengan mudah.

Jauh sebelum CRS didatangkan, di berbagai belahan pelosok negeri Indonesia, juga telah diterapkan teknologi sederhana untuk menghasilkan listrik dari sumber tenaga air. Berbagai komunitas adat di Indonesia telah memanfaatkan debit air sungai sebagai sumber energi dengan teknologi mikrohidro. Sebut saja Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar di Sukabumi Jawa Barat, Masyarakat Adat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan, dan masih banyak lagi.
Dengan fakta diatas, disadari bahwa masyarakat yang tinggal di pedalaman, yang hidup di sekitar hutan, yang belum mendapat pasokan listrik dari negara sesungguhnya mampu menyediakan listrik untuk diri mereka sendiri dengan mengikuti jejak penerapan teknologi seperti mikrohidro tadi.
Pada kesempatan kali ini, Greenpeace juga bekerjasama dengan Aliansi Mayarakat Adat Nusantara (AMAN), dengan adanya penandatanganan nota kesepahaman tentang Komunitas Adat Berbasis Energi Terbarukan. Kerjasama ini merupakan upaya promosi solusi pemenuhan kebutuhan energi dengan energi terbarukan bagi masyarakat Indonesia, khususnya komunitas adat yang hidup di pedalaman yang belum mendapatkan pasokan listrik.
Dalam kerja sama yang disebut Keadilan Energi untuk Masyarakat Adat ini, AMAN dan Greenpeace akan memulai sebuah inisiatif bersama untuk mendorong pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan di kawasan masyarakat adat di seluruh nusantara khususnya  wilayah-wilayah pedalaman  yang selama ini belum menikmati penerangan listrik di tujuh Region yaitu Sumatra, Kalimantan, Jawa, Bali, Maluku, Sulawesi dan Papua.
Selain itu, untuk memastikan keberlanjutan instalasi energi terbarukan ini, AMAN dan Greenpeace juga akan membangun pusat pelatihan energi terbarukan untuk membentuk kemandirian masyarakat setempat dengan cara menyalurkan pengetahuan mengenai berbagai hal, mulai dari mengoperasikan dan memelihara pembangkit listrik energi terbarukan hingga pentingnya peran energi terbarukan dan efisiensi energi sebagai salah satu solusi terpenting mencegah bencana akibat perubahan iklim.
Dengan melakukan pemanfaaatan besar-besaran terhadap energi terbarukan, Indonesia tidak perlu lagi khawatir akan kekurangan sumber energi untuk penerangan di masa mendatang. Langkah ini merupakan langkah yang tepat untuk menuju kemandirian energi.

sumber : http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/climate-rescue-station-Borobudur/blog/42630/

No comments:

Post a Comment

Budayakan Budaya Sopan
No SARA
Peace
Hijau Alam Kita