Sunday, 21 October 2012

Faktor Penyebab Kerusakan Hutan

Hutan mempunyai peran penting dalam menunjang kelangsungan hidup dan kehidupan mahluk hidup, khususnya umat manusia. Hutan tidak hanya memberikan manfaat langsung (tangible use) sebagai sumber penghasil hasil hutan berupa kayu dan non kayu, tetapi hutan juga memberikan manfaat tidak langsung (intangible use) sebagai pengatur tata air, kesuburan tanah, iklim mikro, pencegah erosi dan longsor, sehingga eksistensinya harus tetap dipertahankan melalui pengaturan fungsi hutan.


Pengelolaan hutan merupakan semua upaya untuk memanfaatkan dan memantapkan fungsi sumber daya alam hutan dan ekosistemnya, baik sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan dan pelestarian keragaman hayati maupun sebagai sumber daya ekonomi pembangunan.

Berdasarkan Perda Nomor 2 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) 2001 – 2011 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 757/Kpts-II/1999 tanggal 23 September 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah disebutkan bahwa luas kawasan hutan Provinsi Sulawesi Tengahadalah 4.394.932 ha atau sekitar 64% dari wilayah Provinsi (6.803.300 ha).

Luasnya kawasan hutan di atas membuat upaya perlindungan hutan masih belum berhasil secara optimal, dengan kendala keterbatasan biaya, sarana dan prasarana serta SDM. Kerusakan hutan yang masih mungkin terjadi, merupakan suatu bukti nyata yang harus kita cermati bersama. Untuk itu, upaya perlindungan hutanuntuk mencegah dan mengurangi kerusakan hutan, perlu dilakukan dengan membangun persepsi yang sama dari seluruh pemangku kepentingan bahwa kerusakan hutan telah menyebabkan masalah multidimensi yang berhubungan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan.

Secara umum, kerusakan hutan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor mentalitas manusia, kepentingan ekonomi, dan penegakan hukum yang lemah. 

Mentalitas Manusia
Faktor internal manusia yang berkontribusi positif terhadap kerusakan hutan diantaranya karena pandangan antrhropocentric yang banyak dianut oleh manusia. Antrhropocentric adalah salah satu aliran pemikiran yang berpandangan bahwa manusia adalah pusat dan tujuan akhir dari alam semesta. Aliran ini mempercayai bahwa realitas dapat dijelaskan secara benar hanya atas basis bentuk-bentuk subjektif pengalaman manusia.

Dengan pandangan ini, manusia memposisikan dirinya sebagai pihak yang dominan, sehingga tindakan yang dilaksanakannya lebih banyak didominasi untuk kepentingan manusia dan sering hanya memikirkan kepentingan sekarang daripada masa yang akan datang. Akhirnya hutanpun dianggap hanya sebagai sumber penghasilan yang dapat dimanfaatkan dengan sesuka hati. Masyarakat biasa melakukan pembukaan hutan dengan berpindah-pindah dengan alasan akan dijadikan sebagai lahan pertanian. Kalangan pengusaha menjadikan hutan sebagai lahan perkebunan atau penambangan dengan alasan untuk pembangunan serta menampung tenaga kerja yang akan mengurangi jumlah pengangguran. Tetapi semua itu dilaksanakan dengan cara pengelolaan yang eksploitatif yang akhirnya menimbulkan kerusakan hutan.

Kepentingan Ekonomi
Dalam mengelola hutan kepentingan ekonomi masih lebih dominan dibanding kepentingan kelestarian ekologi, akibatnya agenda yang berdimensi jangka panjang yaitu kelestarian ekologi menjadi terabaikan.

Proses ini berjalan linear dengan akselerasi otonomi daerah. Otonomi daerah pada umumnya mendorong setiap daerah mencari komposisi sumberdaya yang paling optimal. Daerah yang kapabilitas teknologinya rendah cenderung akan membasiskan industrinya pada bidang yang padat yaitu sumber daya alam. Hal ini ditambah dengan adanya pemahaman bahwa mengeksploitasi sumber daya alam termasuk hutan adalah cara yang paling mudah dan murah untuk mendapatkan PAD.

Investasi didominasi dan bertumpu pada hasil-hasil sumber daya alam, seperti kayu, bahan tambang dan hasil hutan lainnya. Ironisnya kegiatan-kegiatan ini sering dilakukan dengan tidak memperhatikan aspek konservasi, dan disertai aktivitas-aktivitas illegal yang akhirnya memperparah dan mempercepat terjadinya kerusakan hutan.

Persoalan juga terjadi terhadap keberadaan kawasan konservasi yang dihadapkan pada persoalan perebutan ruang dan aset ekonomi, dimana daerah akan mendorong investasi yang cepat, umumnya investasi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Dalam kondisi yang kompetitif ini, ketika peran kawasan konservasi disangsikan karena tidak dapat memberikan manfaat secara ekonomi, maka keberpihakan pemerintah daerah dan masyarakat terhadap keberadaan kawasan konservasi sulit diharapkan.

Penegakan Hukum yang Lemah
Penegakan hukum di bidang kehutanan baru menjangkau para pelaku di lapangan saja. Biasanya mereka hanya masyarakat kecil yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya. Mereka hanyalah suruhan dan bukan orang yang paling bertanggungjawab. Orang yang menyuruh mereka dan paling bertanggungjawab justru banyak yang belum tersentuh hukum. Mereka biasanya mempunyai modal yang besar dan memiliki jaringan.

No comments:

Post a Comment

Budayakan Budaya Sopan
No SARA
Peace
Hijau Alam Kita