Hutan
mempunyai peran penting dalam menunjang kelangsungan hidup dan
kehidupan mahluk hidup, khususnya umat manusia. Hutan tidak hanya
memberikan manfaat langsung (tangible use) sebagai sumber penghasil hasil hutan berupa kayu dan non kayu, tetapi hutan juga memberikan manfaat tidak langsung (intangible use)
sebagai pengatur tata air, kesuburan tanah, iklim mikro, pencegah erosi
dan longsor, sehingga eksistensinya harus tetap dipertahankan melalui
pengaturan fungsi hutan.
Pengelolaan hutan
merupakan semua upaya untuk memanfaatkan dan memantapkan fungsi sumber
daya alam hutan dan ekosistemnya, baik sebagai pelindung sistem
penyangga kehidupan dan pelestarian keragaman hayati maupun sebagai
sumber daya ekonomi pembangunan.
Berdasarkan Perda Nomor 2 tahun 2004 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) 2001 – 2011 dan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 757/Kpts-II/1999
tanggal 23 September 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di wilayah
Provinsi Sulawesi Tengah disebutkan bahwa luas kawasan hutan Provinsi Sulawesi Tengahadalah 4.394.932 ha atau sekitar 64% dari wilayah Provinsi (6.803.300 ha).
Luasnya
kawasan hutan di atas membuat upaya perlindungan hutan masih belum
berhasil secara optimal, dengan kendala keterbatasan biaya, sarana dan
prasarana serta SDM. Kerusakan hutan yang masih mungkin terjadi,
merupakan suatu bukti nyata yang harus kita cermati bersama. Untuk itu,
upaya perlindungan hutanuntuk
mencegah dan mengurangi kerusakan hutan, perlu dilakukan dengan
membangun persepsi yang sama dari seluruh pemangku kepentingan bahwa
kerusakan hutan telah menyebabkan masalah multidimensi yang berhubungan
dengan aspek sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan.
Secara
umum, kerusakan hutan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
adalah faktor mentalitas manusia, kepentingan ekonomi, dan penegakan
hukum yang lemah.
Mentalitas Manusia
Faktor internal manusia yang berkontribusi positif terhadap kerusakan hutan diantaranya karena pandangan antrhropocentric yang banyak dianut oleh manusia. Antrhropocentric
adalah salah satu aliran pemikiran yang berpandangan bahwa manusia
adalah pusat dan tujuan akhir dari alam semesta. Aliran ini mempercayai
bahwa realitas dapat dijelaskan secara benar hanya atas basis
bentuk-bentuk subjektif pengalaman manusia.
Dengan
pandangan ini, manusia memposisikan dirinya sebagai pihak yang dominan,
sehingga tindakan yang dilaksanakannya lebih banyak didominasi untuk
kepentingan manusia dan sering hanya memikirkan kepentingan sekarang
daripada masa yang akan datang. Akhirnya hutanpun dianggap hanya sebagai
sumber penghasilan yang dapat dimanfaatkan dengan sesuka hati.
Masyarakat biasa melakukan pembukaan hutan dengan berpindah-pindah
dengan alasan akan dijadikan sebagai lahan pertanian. Kalangan pengusaha
menjadikan hutan sebagai lahan perkebunan atau penambangan dengan
alasan untuk pembangunan serta menampung tenaga kerja yang akan
mengurangi jumlah pengangguran. Tetapi semua itu dilaksanakan dengan
cara pengelolaan yang eksploitatif yang akhirnya menimbulkan kerusakan
hutan.
Kepentingan Ekonomi
Dalam
mengelola hutan kepentingan ekonomi masih lebih dominan dibanding
kepentingan kelestarian ekologi, akibatnya agenda yang berdimensi jangka
panjang yaitu kelestarian ekologi menjadi terabaikan.
Proses
ini berjalan linear dengan akselerasi otonomi daerah. Otonomi daerah
pada umumnya mendorong setiap daerah mencari komposisi sumberdaya yang
paling optimal. Daerah yang kapabilitas teknologinya rendah cenderung
akan membasiskan industrinya pada bidang yang padat yaitu sumber daya
alam. Hal ini ditambah dengan adanya pemahaman bahwa mengeksploitasi
sumber daya alam termasuk hutan adalah cara yang paling mudah dan murah
untuk mendapatkan PAD.
Investasi
didominasi dan bertumpu pada hasil-hasil sumber daya alam, seperti
kayu, bahan tambang dan hasil hutan lainnya. Ironisnya kegiatan-kegiatan
ini sering dilakukan dengan tidak memperhatikan aspek konservasi, dan
disertai aktivitas-aktivitas illegal yang akhirnya memperparah dan
mempercepat terjadinya kerusakan hutan.
Persoalan
juga terjadi terhadap keberadaan kawasan konservasi yang dihadapkan
pada persoalan perebutan ruang dan aset ekonomi, dimana daerah akan
mendorong investasi yang cepat, umumnya investasi perkebunan kelapa
sawit dan pertambangan. Dalam kondisi yang kompetitif ini, ketika peran
kawasan konservasi disangsikan karena tidak dapat memberikan manfaat
secara ekonomi, maka keberpihakan pemerintah daerah dan masyarakat
terhadap keberadaan kawasan konservasi sulit diharapkan.
Penegakan Hukum yang Lemah
Penegakan
hukum di bidang kehutanan baru menjangkau para pelaku di lapangan saja.
Biasanya mereka hanya masyarakat kecil yang bekerja untuk mencukupi
kebutuhan hidup sehari-harinya. Mereka hanyalah suruhan dan bukan orang
yang paling bertanggungjawab. Orang yang menyuruh mereka dan paling
bertanggungjawab justru banyak yang belum tersentuh hukum. Mereka
biasanya mempunyai modal yang besar dan memiliki jaringan.
No comments:
Post a Comment
Budayakan Budaya Sopan
No SARA
Peace
Hijau Alam Kita